Penyesalan dan Harapan: Kisah Seorang Anak Laki-Laki

Mata Sosial Indonesia

Aku adalah anak laki-laki satu-satunya, dan kini baru terasa kehilangannya setelah ibu tiada. Sejak lulus sekolah, aku merantau ke kota orang, mencari nafkah dan masa depan. Bahkan setelah menikah, aku hidup di kampung istriku, jauh dari kedua orang tuaku yang tercinta. Selalu ada rasa bersalah yang mengiringi langkahku, seolah-olah aku telah meninggalkan mereka dalam kesendirian.

Saat masa tua menghampiri ayah dan ibu, perasaan bersalah semakin menghantuiku. Aku merasa seperti anak durhaka, terpaksa oleh keadaan yang memaksaku menjauh dari mereka. Ketika ayahku sakit kanker, sebetulnya dia sangat membutuhkan kehadiranku, namun aku tak mampu berbuat apa-apa. Hingga saat ayah meninggal dunia, aku tidak ada di sisinya, merasakan duka mendalam yang tak terperi.

Begitu pula saat ibuku sakit mendadak dan kemudian meninggal dunia, perasaan bersalah semakin menyesakkan dada. Aku merasa seperti anak yang tak berguna, anak durhaka yang tak mampu membahagiakan mereka di saat-saat terakhir. Kehidupan terasa percuma jika keadaan memaksaku menjadi anak durhaka.

Belum sempat aku meminta maaf pada kedua orang tuaku, terutama ibu, kini aku telah menjadi yatim piatu. Kesedihan dan penyesalan membelenggu jiwa, seolah-olah bayangan mereka selalu hadir dalam setiap langkah hidupku. Namun, di balik semua ini, ada harapan yang masih tersisa, bahwa mereka telah memaafkanku dan melihatku dengan cinta dari alam yang lain.

Setiap doa yang kupanjatkan adalah bentuk penyesalan dan harapanku, agar mereka bahagia di sana. Dalam keheningan malam dan kesunyian hati, aku berharap bisa merasakan kedamaian, mengetahui bahwa cinta mereka masih menyelimuti hidupku, meski mereka telah tiada.

ditulis dari kisah nyata seseorang.

Februari 2025.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *